Meraih Haji Mabrur dan Menjaga Kemabruran Bersama Mastour

Meraih Haji Mabrur dan Menjaga Kemabruran Bersama Mastour

 

 
HAJI Mabrur menjadi dambaan setiap insan yang melaksanakan rukun Islam yang kelima. Karena memang sudah sepantasnyalah jika segala bentuk ibadah yang dilakukan, muaranya adalah diterima oleh Allah SWT. Hal itu diungkapkan KH Ahmad Badawi Basyir, Pengasuh PP Darul Falah Jekulo Kudus, pembimbing jamaah #Mastour.

Menurut Kyai Badawi yang baru saja membimbing 86 jamaah haji Mastour 2017, hal itu selaras dengan hadits Rasulullah SAW, yang menyatakan, dan #hajimabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.

“Karena itu wajar bila semua jamaah haji berburu untuk bisa mendapatkan predikat haji mabrur. Dari sisi makna, haji mabrur itu adalah amalan haji yang diterima oleh Allah,” jelas dia.

Untuk menggapai kemabruran, Kyai Badawi menyampaikan, ada tiga istilah mabrur. Pertama yaitu mabrur persiapan. Artinya, persiapan untuk menuju Baitullah itu harus benar-benar sesuai dengan aturan yang ada. Mulai nafkah atau biaya ke sana, bersumber dari harta yang halal. Selanjut adalah niat yang harus disandarkan dengan penuh keikhlasan, hanya mengharap ridha Allah. Dan, proses ini juga meliputi perjalanan yang bagus dan manasiknya tepat.

Karena itu, yang tidak kalah penting dari kemabruran persiapan, lanjut Kyai Badawi, adalah bekal ilmu. Artinya, sebelum jamaah berangkat, perlu mengetahui akan syarat, rukun, wajib, sunah, makrur, dan yang dilarang dalam beribadah haji. Karena sudah menjadi kewajiban setiap calon jamaah untuk menimba ilmu.

“Inilah enaknya beribadah haji mengikuti biro travel yang terpercaya, seperti Mastour. Sebelum berangkat, jamaah diberikan pemahaman awal mengenai seluk beluk haji. Karena tidak semua jamaah sudah paham tentang syarat, rukun, sunah, makruh, haram, dan tata cara ibadah haji,” kata dia.

Hal itu juga diakui Pimpinan PT Mastour Cabang Semarang H Jumadi Sastradiharja. Menurut dia, Mastour yang sudah berkecimpung dan melayani jamaah selama 15 tahun, memahami kondisi jamaah. Sehingga sebelum berangkat sudah dipersiapkan sedemikian rupa, agar dalam pelaksanaan ibadah lancar dan meraih predikat haji mabrur.

Karena itu, menurut dia, Mastour selalu menekankan akan pentingnya pemahaman mengenai ibadah. “Apapun bentuk amal harus didasari dengan ilmu. Sebagainya diungkapkan dalam hadits, Man aroda dunya fa alaihi bil ilmi, wa man aradal akhirah fa alaihi bil ilmi, wa man arada huma fa alaihi bil ilmi. Barang siapa yang menginginkan dunia maka harus dengan ilmu, dan siapa yang menginginkan akhirat maka dengan ilmu, dan siapa yang ingin kedua-duanya maka harus dengan ilmu,” jelas dia.

Karena itu, sudah menjadi komitment Mastour untuk menggandeng para alim ulama agar menjadi pembimbing jamaah. Hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, di mana para ulama itu merupakan pewaris para nabi, al ulama waratsatul anbiya.

Sedangkan yang kedua, yaitu mabrur proses. Menurut Kyai Badawi, mabrur proses adalah pelaksananan haji itu sendiri. Untuk menggapai haji mabrur, jamaah haru memerhatikan dan mentaati aturan-atauran agama dan aturan negara Arab Saudi. Proses ini termasuk yang jadi pertimbangan yaitu masalah kesehatan, waktu, dan tempat yang berkaitan dengan regulasi.

“Di sinilah biro perjalanan harus jujur mengenai tempat dan lokasi di tanah suci, mulai dari hotel hingga fasilitas selama menjalankan ibadah,” kata dia.

Dan, untuk yang ketiga adalah mabrur produk. Maksud mabrur di sini menurut beliau, adalah hasil dari ibadah haji yaitu adanya perubahan ke arah positif, yakni dari jelek menjadi baik dan yang baik menjadi lebih baik.

Menjadi Mabrur

Karena itu, lanjut Kyai Badawi, untuk menjadi mabrur, maka ibadah haji harus syah. Untuk itu, agar ibadahnya, harus memenuhi syarat syah dan syarat diterima sebuah ibadah.

Untuk syarat syahnya ibadah haji adalah manasik itu sendiri secara dhohir. Artinya, jamaah harus melaksanakan sesuai dengan rukun haji, termasuk juga wajib haji dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama pelaksanaan ibadah haji. Dengan syarat diterima, yaitu jamaah tidak melakukan jadal, rofas, dan fusuk.

Hal itu juga sebagiamana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah Muslim, yang menyebutkan bahwa haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah Subhanahu waTa’ala, yang tidak ada riyanya, tidak ada sum’ah tidak rafats, dan tidak fusuk.

“Bagi pembimbing atau pendamping harus berusaha untuk mengkondisikan jamaah agar tidak melakukan jadal atau bicara dengan perasaan yang mengarah kepada keburukan syahwat, fusuk melanggar aturan, dan jadal, yakni perdebatan yang dapat melukai hati orang, permusuhan, dan lainnya. Maka, kita kondisikan yang laki dengan laki, wanita dengan wanita, semua kita jaga betul,” jelas beliau.

Kyai Badawi juga menekankan, bahwa haji itu adalah perjalanan ibadah dan bukan sekadar wisata religi. Karena itu, haji itu untuk mencetak orang yang tidak benar menjadi benar.

“Dalam menjalankan ibadah haji harus mengikuti imam. Ibadah haji harus mutabaah, yaitu mengikuti Nabi. Kalau pada Nabi tidak ada, maka mengikuti sahabat, jika tidak ada, maka ke tabiin, seterusnya hingga ke imam Anda atau pendamping. Dengan mutabaah ini, insyallah akan mengantarkan menuju kemabruran,” jelasnya.

Dan, Kyai Badawi selalu menyampaikan kata kunci ke jamaah untuk diterimanya haji. “Mari ibadah haji ini kita niatkan dengan ikhlas, kita kerjakan dengan senang hati, dan kita tuntaskan secara sempurna”.

Menjaga Kemabruran

 
Sementara untuk agar haji mabrur yang telah diperoleh tetap lestari, maka harus dijaga. Menurut beliau, muhafadhah ini sebagaimana menjaga tanaman yang sudah tumbuh. Maka, agar kemabruran tersebut terjaga, sepulang dari Tanah Suci, jamaah harus selalu mudawamah atau melanggengkan kabaikkan yang telah didapat atau dilakukan saat berada di Makkah dan Madinah.

Seperti filosofi thawaf yang mengitari Kakbah. Artinya, ke mana pun manusia pergi beraktifitas, bahkan hingga berkeliling dunia, tetapi hatinya tetap kepada Allah SWT. Begitu pula saat melaksanakan ibadah di Tanah Suci berdesak-desakan, namun tetap dilakukan dengan sabar dan menumbuhkan kasih sayang. Yang semua itu harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

 
Maka, untuk produk mabrur secara sosial bisa perlihatkan minimal dengan tiga hal santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam), menebarkan kedamaian (ifsyaus salam), dan memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ithamut thaam). Di samping ada perubahan dari yang baik menjadi lebih baik.

Dari situ, predikat mabrur bagi orang yang telah menjalankan ibadah haji, tidak hanya memberikan dampak terhadap kehidupan pribadinya saja, tetapi juga berdampak kepada sisi sosial di lingkungannya.

Komentar